Minggu, 14 November 2010

Republic of Korea

Republic of Korea

Republic of Korea / ROK yang dalam Bahasa Korea adalah "Daehan Minguk" yang biasa dikenal sebagai Korea Selatan. ROK adalah sebuah negara di Asia Timur yang meliputi bagian selatan Semenanjung Korea. Di sebelah utara, Republik Korea berbataskan Korea Utara, di mana keduanya bersatu sebagai sebuah negara hingga tahun 1948.
      Jepang berada di seberang Laut Jepang (disebut "Laut Timur" oleh orang-orang Korea) dan Selat Korea berada di bagian tenggara. Negara ini dikenal dengan nama Hanguk oleh penduduk Korea Selatan dan Namchoson ("Choson Selatan") di Korea Utara. Ibukota Korea Selatan berada di Seoul
     Seoul adalah ibukota Korea Selatan yang berusia lebih dari 600 tahun dan sejak tahun 1945 Seoul merupakan ibukota dari seluruh Korea. Kota ini merupakan Kota Khusus Korea. Sejak berdirinya Republik Korea lebih dikenal dengan nama Korea Selatan pada tahun 1948, dia menjadi ibukota negara, kecuali beberapa waktu pada masa Perang Korea.
     Seoul terletak di barat laut negara, di bagian selatan DMZ Korea, di Sungai Han. Kota ini adalah pusat politik, budaya, sosial dan ekonomi di Korea Selatan dan Asia Timur. Dia juga pusat bisnis, keuangan, perusahaan multinasional, dan organisasi global. Sampai sekarang, dia dianggap sebagai sinar dari ekonomi Asia Timur, simbol dari keajaiban ekonomi Korea.
     Dengan 10 juta penduduk terdaftar yang hidup dalam area sebesar 605.52 km², Seoul merupakan salah satu kota terpadat di dunia. Kepadatannya telah membuatnya menjadi salah satu kota digital-kabel di dunia. Kota ini juga memiliki kendaraan terdaftar lebih dari 1 juta kendaraan yang menyebabkan kemacetan sampai lewat tengah malam.
     Bagian Seoul besar dan daerah komuter, termasuk dermaga kota Incheon dan daerah tempat tinggal Seongnam, adalah tempat terpadat di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah metropolitan telah melaksanakan program pembersihan polusi udara dan air dari kota tersebut, menjadikan atmosfir tidak enak menjadi sangat bersih.
      
      Cara termudah dan paling menyenangkan memahami suatu kebudayaan adalah lewat makanannya. Meskipun agak stereotip, jenis-jenis makanan itu merupakan hal yang menunjukkan jati diri suatu bangsa lebih dari aspek kebudayaan lain.
     Makanan Korea yang paling terkenal adalah KIMCHI, sejenis sayuran yang diacar. Di dalamnya biasa terdapat kubis, lobak, ketimun, cabai dengan rasa relatif pedas.
     Dari beberapa makanan Korea, "Kimchi" dan "Pulgogi" adalah makanan yang sangat terkenal di Korea ataupun di dunia Internasional. "Khimchi" adalah asinan khas Korea. Kimchi selalu ada dalam hidangan khusus ataupun hidangan sehari-hari, seperti sayuran, lalap dan sambal di Indonesia.
     Pulgogi adalah masakan yang dibuat dari daging sapi diberi bumbu, kemudian dimasak. Ada dua macam cara memasak pulgogi, jenis tumis dan bakar. Jenis bakar sangat terkenal dan merupakan masakan istimewa. Rasa pulgogi, tidak jauh berbeda dengan rasa daging sapi bakar di Indonesia.
     Para peneliti telah mendokumentasikan lebih dari 170 jenis makanan Korea. Akan tetapi yang paling umum dan disantap dengan nasi adalah kimchi yang di Tanah Air mirip-mirip asinan Bogor atau rujak cuka Bandung.
     Semua hidangan disajikan dalam satu meja, tapi etiket orang Korea tidak mengharuskan makan dengan urutan tertentu. Selain itu yang paling utama adalah jumlah hidangan. Berdasarkan tradisi, jumlah hidangan menandakan posisi keluarga itu dan tamunya.
     Pada zaman Busan masih berbentuk kerajaan, ada lima jenis makanan sehari-hari. Hanya Raja saja yang boleh menikmati 12 menu hidangan. Kelas "Yangban" (aristokrat) berhak atas tujuh sampai sembilan macam menu. Sedangkan rakyat jelata dibatasi tiga hingga lima macam menu saja.
     Dapat dibayangkan biaya sehari-hari anggota kerajaan untuk urusan dapur. Mereka menikmati hidangan yang begitu lengkap. Kini, kebiasaan menyediakan makanan secara lengkap mudah ditemui di Korea. Malah hidangan sederhana seperti mie pun memerlukan sejumlah pelengkap untuk menambah rasa.
     Makanan sehari-hari di pabrik-pabrik Korea biasanya terdiri dari satu mangkuk nasi, sup ("miyeok kuk"), beberapa jenis kimchi, teri, cumi iris belado, terkadang ada variasi antara ikan/daging/telur, tapi terkadang juga tidak.
     Belakangan kimchi telah beralih ke pizza dan burger. Proses pembuatannya merupakan contoh baik untuk mengenal bagaimana wanita Korea memasak. Hal itu sekaligus memperjelas laki-laki Korea tidak pernah masuk ke dapur. Sebagian besar wanita Korea pun baru belajar memasak sesudah menikah di bawah pengawasan ibu mertua.
     Tak satu pun buku resep yang dapat menggantikan pentingnya latihan dan uji coba memasak bertahun-tahun. Dulunya disebut-sebut semua wanita Korea yang menikah selalu belajar bagaimana membuat kimchi di dapur yang sama dengan mertua. Selera yang berbeda dari setiap keluarga diteruskan dari generasi ke generasi. Sekarang, kabarnya hanya segelintir wanita Korea yang memiliki waktu dan tempat membuat kimchi dengan cara tradisional.

         SEPERTINYA hal yang kontradiktif bahwa sebuah tradisi bertahan dalam masyarakat yang dinamis bergerak mengikuti, bahkan kalau bisa mendahului zaman. Namun, di Korea, tampaknya modernitas bukannya berarti tanpa tradisi. Kebudayaan yang ratusan, bahkan ribuan tahun, mampu bertahan walau mengalami perubahan.
     Ini yang terjadi pada "Hanbok", pakaian tradisional Korea. Walaupun pakaian model Barat adalah yang umum digunakan dalam kehidupan modern ini, "Hanbok" masih dipakai, terutama pada hari-hari raya dan acara-acara seperti pesta pernikahan. Pada hari "Chusok", Hari Bersyukur Korea, bahkan di jalan-jalan Kota Seoul pun banyak orang memakai baju tradisional itu.
     "Dulu banyak orang membuat "Hanbok" untuk Chusok. Sekarang tidak lagi karena mereka lebih memilih untuk menyewa saja," kata Seo Sun-hee, wanita pemilik toko "hanbok" di lantai tujuh pertokoan Doosan Tower, Pasar Dongdaemun, Seoul. Bukan berarti tokonya sepi pembeli, tapi "Ini bisnis yang baik walaupun permintaan menurun dibanding dulu," kata perempuan yang anak sulungnya kelas 2 SMP itu.
     Biasanya pelanggan datang untuk memesan pakaian pernikahan. Ini berarti pakaian untuk kedua mempelai dan ibu mereka masing-masing. Dengan memperlihatkan sebuah "hanbok" pesanan yang telah jadi, perempuan cantik itu menjelaskan bahwa pengantin perempuan biasanya memakai "chima" (rok panjang berlipit-lipit) warna merah, dan "jeogori" (jaket pendek semacam bolero) warna hijau.
     Pengantin pria bebas memilih warna celana panjang dan jaket bertalinya. Keduanya masih tetap memakai jubah. Warna jubah perempuan disesuaikan dengan warna pilihan baju pasangannya. Ibu mempelai lelaki memakai warna kehijauan, sedangkan calon besannya dalam nuansa merah.
     Ini tak jauh berbeda dari aturan yang telah ada sejak masa Dinasti Joseon pada abad ke-15. Waktu itu para gadis memakai "chima" merah dan "jeogori" kuning. Pada waktu pesta perkawinan yang dilanjutkan dengan acara menghormat orangtua dan mertua. Perempuan dari kelas bangsawan telah memakai warna merah dan hijau itu. Warna-warna pada pakaian tradisional Korea yang semarak, memang sesuatu yag unik dan dimaksudkan untuk menghalangi roh jahat.
     Bentuk "hanbok" yang sekarang dipakai, dipolakan pada masa Dinasti Joseon yang berdasarkan Konfusianisme pada abad ke-15. Namun, pada dasarnya "hanbok" sudah ada sejak masa Tiga Kerajaan (57 SM-668 M). Di Kerajaan Silla tahun 648, pakaian semacam itu telah dipakai oleh perempuan bangsawan, juga pada masa Dinasti Goryeo (nama yang kemudian menjadi Korea) setelah itu.
     Model bagi perempuan yang sejak masa Dinasti Joseon dan berlaku sampai sekarang adalah gabungan "chima" dan "jeogori", yang ditutup dengan pita satu sisi itu. Kelihatannya pakaian itu tampak nyaman karena lebar leluasa sambil tetap menampilkan keindahan bentuk leher dan lengkung bahu perempuan.
     Namun dalam kehidupan sehari-hari, perempuan zaman sekarang sudah jarang memakai pakaian itu karena harus sedikit menderita mengenakannya. Rok lebar berlipit itu bentuknya bagai sehelai kain, dililitkan di atas dada, lalu diikat keras-keras meratakan dada. Itu kata perempuan yang selalu mengenakan "hanbok" dalam melayani pelanggan, sehingga kadang membuat sesak.
     Untuk upacara perkawinan, perempuan Korea masa kini menggabungkan model "tradisional" dan model "modern". Untuk acara "pertunangan", mereka mengenakan "hanbok" warna merah muda, sedangkan untuk upacara "perkawinan", "hanbok" warna merah-hijau itu ditambah pakaian pengantin model barat untuk acara berfoto berdua.
     Setiap pasangan memesan minimal enam "hanbok", dua untuk mempelai perempuan, dua untuk lelaki, dan dua untuk masing-masing ibu. Harga satu set dari "bahan sutra" antara 250.000 sampai 400.000 won, atau minimal Rp 2 juta. Yang bahan "poliester" antara 100.000 sampai 200.000 won, dan biasanya dipakai oleh mereka yang merayakan ulang tahun perkawinan ke-60.
     "Pembuatannya memakan waktu satu minggu sampai satu bulan, tergantung ramai-tidaknya pesanan", kata Sun-hee yang punya lima penjahit di rumahnya itu. Biasanya masa pemesanan yang ramai adalah mulai dari bulan Agustus sampai bulan April, karena cuaca musim panas terlalu panas untuk acara perkawinan.










0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

clock